Kamis, 02 Juni 2011

Mensinggahi Tangkuban Parahu

Bandung, 2011

Hujan dan kabut menyambut ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki kawasan Tangkuban Parahu. Udara segar segera menyelinap ke dalam kabin, menghapus kejenuhan setelah menempuh perjalanan seharian dari Jakarta. Suasana redup dan berangin ketika kami berjalan menyusur tepian kawah. Hujan masih menerpa tubuh kami dengan intensitas yang berubah-ubah. Saya termangu menatap gugusan asap yang dikelilingi igir-igir tebing sisa stratovulkano. Menerawang jauh pada suatu masa, mencari-cari bentuk geometri di antara asap kawah dan kabut.


Inilah bagian dari legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Cerita lisan yang turun temurun hidup di Bumi Pasundan. Kisah tentang mula jadi suatu daerah yang dihubungkan dengan legenda percintaan antara anak dan ibu di masa lampau. Tangkuban Parahu terbentuk dari perahu buatan Sangkuriang yang akan dipersembahkan untuk Dayang Sumbi, perempuan pujaan Sangkuriang yang ternyata adalah ibu kandungnya sendiri.  


Tentu saja ini hanya mitos belaka, gunung yang terakhir meletus tahun 1983 ini sejatinya adalah bentukan sisa gunung api purba (Gunung Sunda) yang meletus kisaran 50 ribu tahun lalu . Kaldera Gunung Purba ini diyakini hancur oleh letusan tipe Plinian. Tangkuban Parahu tergolong tipe gunung api aktif, yang sewaktu-waktu menuntut manusia di sekitarnya lebih waspada.


Lelah menjelajahi kawasan Tangkuban Parahu dan mencari bentuk geometri yang belum juga ketemu, perhatian saya beralih ke makanan tradisional yang dijajakan di pinggir jalan. Hmm...lumayan, hujan-hujan menyantap jadah bakar. 
"Apa benar sih bu gunung ini berasal dari perahu Sangkuriang?"
"Whaattt...????!!!!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar