Jumat, 17 Juni 2011

Surga Air....Pantai Klayar

Pacitan, 2010

Saya hampir saja putus asa ketika melihat mendung menggantung di langit Klayar pagi itu. Matahari yang biasanya semburat, nyaris pasti tidak akan saya temui. Saya dan rekan-rekan melakukan peregangan badan setelah tiga jam berkendara dari Yogyakarta sejak dini hari tadi. Debur ombak yang keras lamat-lamat mulai terlihat bentuknya, hmm...inilah suasana yang tidak pernah berubah ketika kita berdiri di tepian Samudera Hindia.

Maka mulailah kami bergerak menembus gelap yang meremang. Menjamah pasir yang masih menyimpan dinginnya malam. Sambil masih berharap sinar matahari mampu menembus pekatnya awan kelabu.






Kamis, 02 Juni 2011

Menjaga Kampung Karuhun

Tasikmalaya, 2011

Pertama kali yang kami lihat ketika menuruni anak tangga di kampung ini adalah hamparan sawah yang menghijau, selintas lalu mengingatkan suasana pedesaan di Bali, namun tanpa rombongan perempuan bersanggul, berkostum tradisional dengan bunga terselip di rambut. Suasana meneduhkan ini kami jumpai di Jawa Barat, dalam perjalanan menuju Kabupaten Garut. Orang menyebutnya sebagai Kampung Naga (saya masih belum mengerti kenapa diberi nama demikian).



Berbincang dengan warga setempat, Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang memegang erat tradisi leluhur (dalam bahasa setempat "Karuhun"). Kampung ini berada di lembah subur di tepian Ciwulan. Saya berjalan menyusuri sungai ini, menuju perkampungan yang menyuguhkan atmosfir unik. Saya merasa damai.


Lalu saya terkesiap melihat betapa harmoni kehidupan sungguh ada di tempat ini. Bangunan beratap ijuk berjajar rapi, memiliki arah yang homogen membujur utara selatan. Satu-satunya bangunan yang bertembok semen di Kampung Naga adalah kamar mandi yang terletak di sebelah empang, di luar pagar kampung. Selebihnya, seluruh bangunan berdinding anyaman bambu. Tenang, hanya suara gemericik air Ciwulan, sorak anak-anak yang tengah bermain dan kotekan ayam. Tanpa alunan musik rock atau musik klasik. Konon, jumlah bangunan di kampung ini selalu tetap, tidak kurang dan tidak lebih, 318 buah.


Sore itu, tidak banyak aktivitas di Kampung Naga. Beberapa wanita duduk sendiri atau berkelompok membuat kerajinan anyaman bambu. Saya menjumpai aneka bentuk topi, tas, baki dan beberapa bentuk lain yang semuanya terbuat dari bambu. Mereka bekerja dengan cekatan, tidak banyak bicara seperti anggota DPR di Senayan. Barangkali hari itu warga Kampung Naga sedang menyepi, sehingga tidak ada pembicaraan, hanya senyum yang sesekali menyapa kami.



Seorang laki-laki berpakaian adat terlihat serius menganyam jaring untuk menangkap ikan di Ciwulan. Ia duduk di depan sebuah bangunan terbesar yang ada di tengah kampung. Bangunan itu disebut Patemon atau tempat berkumpul. Jika tidak digunakan Patemon dibiarkan kosong dan terlarang untuk ditinggali warga. Di samping Patemon berdiri sebuah masjid yang digunakan sembahyang warga setiap hari Jum'at.  




Selain jumlah bangunan yang tetap, Kampung Naga juga dihuni oleh warga yang berjumlah tetap. Setiap ada penambahan warga baru melalui proses kelahiran menyebabkan ada warga yang harus keluar dari kampung ini. Penyebab lain seorang warga harus tinggal di luar kampung adalah jika yang bersangkutan menikah dengan warga luar kampung. 

Inilah sebagian kecil tradisi Karuhun yang harus dijaga di Kampung Naga. Hidup sederhana, tanpa listrik, tanpa musik modern. Selesai dengan seluk beluk Kampung Naga, saya pun bergabung dengan anak-anak bermain bola di belakang Patemon.

Mensinggahi Tangkuban Parahu

Bandung, 2011

Hujan dan kabut menyambut ketika kendaraan yang kami tumpangi memasuki kawasan Tangkuban Parahu. Udara segar segera menyelinap ke dalam kabin, menghapus kejenuhan setelah menempuh perjalanan seharian dari Jakarta. Suasana redup dan berangin ketika kami berjalan menyusur tepian kawah. Hujan masih menerpa tubuh kami dengan intensitas yang berubah-ubah. Saya termangu menatap gugusan asap yang dikelilingi igir-igir tebing sisa stratovulkano. Menerawang jauh pada suatu masa, mencari-cari bentuk geometri di antara asap kawah dan kabut.


Inilah bagian dari legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Cerita lisan yang turun temurun hidup di Bumi Pasundan. Kisah tentang mula jadi suatu daerah yang dihubungkan dengan legenda percintaan antara anak dan ibu di masa lampau. Tangkuban Parahu terbentuk dari perahu buatan Sangkuriang yang akan dipersembahkan untuk Dayang Sumbi, perempuan pujaan Sangkuriang yang ternyata adalah ibu kandungnya sendiri.  


Tentu saja ini hanya mitos belaka, gunung yang terakhir meletus tahun 1983 ini sejatinya adalah bentukan sisa gunung api purba (Gunung Sunda) yang meletus kisaran 50 ribu tahun lalu . Kaldera Gunung Purba ini diyakini hancur oleh letusan tipe Plinian. Tangkuban Parahu tergolong tipe gunung api aktif, yang sewaktu-waktu menuntut manusia di sekitarnya lebih waspada.


Lelah menjelajahi kawasan Tangkuban Parahu dan mencari bentuk geometri yang belum juga ketemu, perhatian saya beralih ke makanan tradisional yang dijajakan di pinggir jalan. Hmm...lumayan, hujan-hujan menyantap jadah bakar. 
"Apa benar sih bu gunung ini berasal dari perahu Sangkuriang?"
"Whaattt...????!!!!"

Selasa, 24 Mei 2011

Dibawah Bayangan Merapi

Yogyakarta


Merapi selalu memiliki kisah sendiri, yang menjadi bagian dari sejarah nusantara. Ada keanggunan di sana, juga bara yang menggelegak, menunggu waktu untuk selalu membuat sejarah baru lagi. Apakah memang benar-benar sejarah baru? sebagaian orang akan berkata tidak. Sebagian percaya bahwa sejarah itu merupakan proses perulangan. Bahwa apa yang terjadi di hari ini sesungguhnya telah terjadi di masa lampau, ribuan atau jutaan tahun lalu.


Salah satu yang merekam sejarah Merapi adalah Candi Borobudur. Sebuah candi yang didirikan Wangsa Syailendra pada tahun 800an Masehi. Candi yang bernama lain Sambharabuddara ini porak poranda dan pernah terkubur oleh material vulkanik Gunung Merapi. Letusan tahun 1006 yang disebut sebagai Maha Pralaya itu juga diyakini menjadi pemicu berpindahnya kerajaan Mataram Hindu ke Tlatah Jombang, Jawa Timur. Setelah dihantam banjir bandang Sungai Brantas, kerajaan ini kembali berpindah ke daerah Malang yang kelak menjadi cikal bakal kerajaan Singosari.








Tidak ada yang tahu pasti apakah yang dipercaya sebagian orang itu kenyataan atau hanya sekedar mitos. Berbahagialah bagi mereka yang percaya bahwa Merapi akan selalu mengulang sejarah, setidaknya kepercayaan itu akan memupuk rasa hormat manusia kepada Merapi. Selanjutnya menimbulkan kesadaran bahwa manusia selalu hidup berdampingan dengan Merapi yang anggun namun menyimpan potensi bencana. Mari membangun harapan, kelak ketika Merapi bergolak, tidak ada lagi korban jiwa. Salam....


Senin, 23 Mei 2011

Ini Budaya Kami

Yogyakarta,

Malam baru saja melingkupi kota. Sekelompok anak berjalan ceria menuju sebuah lokasi pertunjukkan. Sambil bersendau gurau mereka segera menuju ke bangku penonton. Arena pertunjukkan itu bukanlah sebuah gedung mewah, hanya ada panggung beratap langit dan kursi panjang berderet yang telah dipenuhi orang. sebagian besar adalah turis mancanegara. Saya yang tengah duduk di deret bangku ketiga hampir saja tidak menyadari keberadaan anak-anak ini.


Pertunjukan baru saja dimulai. Sendratari Ramayana yang telah sekian ratus tahun dipentaskan berulangkali. Rasa penasaran saya tergelitik ketika mendengar sekelompok anak kecil tadi berdiskusi kecil tentang peran apa yang nanti akan mereka lakoni. Hmm...ruapanya mereka bagian dari pertunjukan itu. Ketika mereka beranjak dari tempat duduk segera saya mengikuti mereka, berjalan ke balik panggung. Singkat waktu, anak-anak tadi telah berganti kostum dan segera menarikan pena rias di wajah mereka, saya pun tersenyum.


Sepasukan kera yang dipimpin Hanuman segera menyerbu panggung. Memporak porandakan barisan pertahanan pasukan Rahwana. Pertempuran itu singkat saja. Seperti biasa, dalam dunia dongeng kebaikan selalu menang atas kejahatan. begitu juga malam itu. Begitu pertempuran usai, ceremonial perjumpaan abdi dan penguasa selalu tak luput untuk dipertontonkan, tentu saja dalam hal ini adalah Rama yang telah mendapatkan Shinta. Hanuman dan pasukan keranya duduk di lantai, menghamba.

Menjelang tengah malam usai sudah pertunjukkan itu. Riuh tepuk sorak penonton mengiringi pemain yang undur satu persatu. Sekelompok kera kecil tidak kembali ke belakang panggung. Mereka berjalan menghampiri penonton mancanegara yang segera berebut mengajak mereka berpose di depan kamera. Kecerian pecah, tak segan turis mancanegara itu menjabat erat tangan kera-kera kecil itu dan menunjukkan ekspresi kekaguman spontannya.
"Thanks you mister....thanks for your coming," ucap mereka hampir bersamaan. Saya pun dalam hati ikut berkata "Terimakasih tuan-tuan dan nyonya, telah mengapresiasi budaya kami".

Petani Dieng

Wonosobo, 2011

Keindahan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo menjadi lengkap dengan kehadiran manusia pekerja keras, petani. Ya...bertani di dataran tinggi yang dianugerahi tanah subur tidak jauh beda dengan bertani di lokasi lain. Butuh ketekunan, keuletan dan kesabaran. Namun ternyata itu belum cukup....hasil bagus secara berkesinambungan membutuhkan pengetahuan bercocok tanam dan kearifan. Petani Dieng mengandalkan perhitungan musim yang dipercayai secara turun temurun. Jangan berharap menemukan penggunaan pupuk kimia di daerah ini. Masyarakat petani percaya, menggunakan pupuk dan obat-obatan organik akan menjaga kesuburan dan kualitas tanah pertanian.


Salah satu andalan hasil pertanian di Dataran Tinggi Dieng adalah kentang. Dalam setahun petani bisa menuai dua hingga tiga kali hasil tanam. Proses memanen hasil pertanian tidak hanya dilakukan petani si empunya tanaman. Mereka masih memegang erat tradisi gotong royong. Petani saling membantu satu sama lain untuk memanen hasil tanamnya.


Berpuluh tahun, rupanya kerja keras yang dilakukan petani tak juga mengangkat derajat hidup mereka selama ini. Tentu saja mereka tidak pernah tahu jika hasil tanam mereka akan dihargai tiga hingga empat kali lipat dari harga awal ketika produk mereka dibeli pertama kali. Mereka juga tidak pernah tahu jika tanah yang selama ini menghidupi anak cucu mereka, suatu saat dengan sangat mudah berpindah tangan ke tangan para investor. Merubah lahan hijau yang produktif menjadi hunian-hunian kaum kaya atau dijadikan lokasi industri.


"Hahahaha....ah itu biarlah orang-orang pinter yang memikirkannya nak, kami hanya mengerti inilah tanah kami yang harus kami pelihara dengan baik. Berbuat baik kepada bumi akan memberi makan anak cucu kami" tutur perempuan tua itu dengan berbinar, melihat hasil panen kentangnya cukup melimpah.

Minggu, 22 Mei 2011

Selamatkah Goa Lowo?

Pati - 2010



Goa ini sementara merupakan goa dengan lorong terbesar di kawasan Karst Sukolilo. Namun belum cukup besar untuk mengalahkan Goa Soon Doong di Vietnam. Tempo hari Goa Lowo nyaris menjadi lokasi santapan industri semen. Syukurlah...semua telah lewat, namun bukan berarti berakhir. Masih terngiang ucapan salah satu petinggi Asosiasi Semen Indonesia di telinga saya "Sampai kapan pun, Sukolilo akan tetap menjadi incaran kami, kita lihat saja nanti...."

Goa Lowo merupakan goa hunian kelelawar pemakan serangga. Diyakini, komunitas kelelawar inilah yang selama ini menjaga areal pertanian di wilayah selatan Kabupaten Pati. Lepas dari ancaman industri semen, Goa Lowo belum lepas dari ancaman pemburu kelelawar dan petambang fosfat. Beberapa goa lain di kawasan ini juga mengalami ancaman serupa. Rupanya melindungi sebuah bentuk kehidupan membutuhkan energi yang besar. Semoga energi itu tidak pernah habis....

In this picture : Fredy Chandra Ahmadi, Moch. Tahan