Tasikmalaya, 2011
Pertama kali yang kami lihat ketika menuruni anak tangga di kampung ini adalah hamparan sawah yang menghijau, selintas lalu mengingatkan suasana pedesaan di Bali, namun tanpa rombongan perempuan bersanggul, berkostum tradisional dengan bunga terselip di rambut. Suasana meneduhkan ini kami jumpai di Jawa Barat, dalam perjalanan menuju Kabupaten Garut. Orang menyebutnya sebagai Kampung Naga (saya masih belum mengerti kenapa diberi nama demikian).
Berbincang dengan warga setempat, Kampung Naga adalah salah satu kampung adat yang memegang erat tradisi leluhur (dalam bahasa setempat "Karuhun"). Kampung ini berada di lembah subur di tepian Ciwulan. Saya berjalan menyusuri sungai ini, menuju perkampungan yang menyuguhkan atmosfir unik. Saya merasa damai.
Lalu saya terkesiap melihat betapa harmoni kehidupan sungguh ada di tempat ini. Bangunan beratap ijuk berjajar rapi, memiliki arah yang homogen membujur utara selatan. Satu-satunya bangunan yang bertembok semen di Kampung Naga adalah kamar mandi yang terletak di sebelah empang, di luar pagar kampung. Selebihnya, seluruh bangunan berdinding anyaman bambu. Tenang, hanya suara gemericik air Ciwulan, sorak anak-anak yang tengah bermain dan kotekan ayam. Tanpa alunan musik rock atau musik klasik. Konon, jumlah bangunan di kampung ini selalu tetap, tidak kurang dan tidak lebih, 318 buah.
Sore itu, tidak banyak aktivitas di Kampung Naga. Beberapa wanita duduk sendiri atau berkelompok membuat kerajinan anyaman bambu. Saya menjumpai aneka bentuk topi, tas, baki dan beberapa bentuk lain yang semuanya terbuat dari bambu. Mereka bekerja dengan cekatan, tidak banyak bicara seperti anggota DPR di Senayan. Barangkali hari itu warga Kampung Naga sedang menyepi, sehingga tidak ada pembicaraan, hanya senyum yang sesekali menyapa kami.
Seorang laki-laki berpakaian adat terlihat serius menganyam jaring untuk menangkap ikan di Ciwulan. Ia duduk di depan sebuah bangunan terbesar yang ada di tengah kampung. Bangunan itu disebut Patemon atau tempat berkumpul. Jika tidak digunakan Patemon dibiarkan kosong dan terlarang untuk ditinggali warga. Di samping Patemon berdiri sebuah masjid yang digunakan sembahyang warga setiap hari Jum'at.
Selain jumlah bangunan yang tetap, Kampung Naga juga dihuni oleh warga yang berjumlah tetap. Setiap ada penambahan warga baru melalui proses kelahiran menyebabkan ada warga yang harus keluar dari kampung ini. Penyebab lain seorang warga harus tinggal di luar kampung adalah jika yang bersangkutan menikah dengan warga luar kampung.
Inilah sebagian kecil tradisi Karuhun yang harus dijaga di Kampung Naga. Hidup sederhana, tanpa listrik, tanpa musik modern. Selesai dengan seluk beluk Kampung Naga, saya pun bergabung dengan anak-anak bermain bola di belakang Patemon.